Ronda Tetek Bangunkan Sahun Ramadhan |
Ronda tetek didominasi oleh alat
musik kentongan dalam berbagai bentuk dan ukuran. Alat itu dibuat tergantung
pada kebutuhan personel pemukul dan jenis bunyi yang diinginkan, mulai dari not
yang paling rendah sampai not tertinggi. Pada 16 tahunan yang lalu, alat pukul
pada ronda tetek didominasi oleh jenis kentongan. Alat musik jenis ini, kalau
dijenjang berdasarkan kelasnya, berada di rata-rata kemampuan pengadaan, dan
jenis ketrampilan rata-rata.
Sementara, untuk jenis kentongan
yang lain, ada jenis kentongan dengan bentuk “clontang”, bentuknya mirip dengan
angklung. Notasi-nya lebih beragam dan kompleks. Selain kedua jenis alat
tersebut, untuk bas-nya biasanya menggunakan drum tempat air atau tempat minyak
(jurigen). Dua jenis alat ini adalah inti dari alat yang digunakan untuk ronda
tetek. Sementara itu, dalam dasawarsa terakhir, alat-alat ini telah mengalami
penambahan untuk memperkaya harmoni ronda tetek.
Terakhir, dalam pengamatan saya,
alat-alat ini telah dikombinasikan dengan instrumen musik modern dengan
berbagai ketrampilan memainkan musik. Penambahan instrumentalisasi ronda tetek
dibarengi dengan peran dalam kelompok-kelompok kaum muda yang sudah bersentuhan
variasi ketrampilan untuk memaknai ronda tetek. Ronda tetek yang saya alami
sekitar 16 tahun silam, adalah sebentuk modal sosial yang dimainkan oleh
kalangan remaja pecinta langgar dan mushola yang dimaksudkan sebagai
solidaritas sebagai pengingat untuk waktu sahur bagi orang-orang yang sedang
berpuasa telah tiba.
Pukulan kentongan dengan irama
khas, menjadi kegiatan rutin dengan siklus waktu diantara jam 1 pagi hingga
menjelang imsak. Ronda tetek menjadi identitas sosial para ramaja yang waktu
tidurnya dihabiskan di masjid-masjid dan mushola di kampung-kampung. Identitas
remaja pencinta mushola dan masjid ini memang menggejala di era 1980-an. Hampir
di setiap mushola dan masjid di kampung, di situlah remaja yang mencintai agama
seolah menjadi santri bayangan dan penyangga kegiatan masjid dan mushola.
Termasuk di dalamnya adalah ritme
lokal yang menggerakkan ronda tetek saat ramadhan. Ronda tetek tidak bisa
dilepaskan dari proses sosialisasi masa remaja. Aktifitas ronda tetek
menyiratkan dinamika interaksi kreatifitas bagi remaja-remaja di kampung.
Bahkan ia merupakan metamorfosis bagi upaya tetap meruwat kekayaan kearifan
lokal desa melalui geliat dinamika kesenian tradisional berlatar instrumen
bambu lokal yang dimodifikasi menjadi peralatan musik. Melalui peralatan musik
ini mereka belajar berinteraksi untuk sesuatu yang produktif. Mereka mencoba
mengeja not-not melalui bahan-bahan tradisional. Remaja-remaja ini mencoba
membangun imajinasi seni.
Mereka bersama-sama mencari
bahan-bahan dari bambu. Mereplikasi alat-alat ini agar sesuai dengan imajinasi
kolektif mereka sehingga melahirkan bunyi yang menyeruak menjadi suara batin
remaja pecinta mushola. Bunyi-bunyi ini menyemburatkan identitas dan kuasa
remaja. Seolah bunyi kentongan ini yang terangkum dalam irama kolektif menjadi
suara batin mereka. Suara kentongan menandaskan ko-eksistensi bahwa mereka ada
bersama bunyi kentongan. Remaja-remaja ini, sebagaimana penulis juga pernah
mengalami proses ini, berburu untuk membangun kolektifitas dan identitas sosial
melalui bunyi kentongan. Ada perasaan bangga.
Saat kembali ke rumah, sebagian
dari mereka selalu bercerita tentang kapasitasnya dalam membentuk khazanah
lokalnya melalui kentongan dengan para orang tua mereka. Bahkan, semangat
kolektifitas ini menjadi identitas sosial yang mengakar ke basis-basis mushola
tertentu karena hampir pasti setiap mushola selalu memiliki kelompok ronda
tetek. Terkadang mereka mengalami bentrok, dan kejar-kejaran untuk menegaskan
otoritas mereka dalam ronda tetek.
Di jalanan gelap mereka berseteru atau
saling mengejar. Tidak ada motif kecuali penguatan identitas sosial dalam ronda
tetek. Bahkan jika mereka berpapasan dalam gelapnya malam, meskipun tidak
berseteru, atau saling mengejar, mereka tetap berpapasan dengan mengencangkan
pukulan kentongan mereka. Di benak remaja ini, mereka ingin mempertahankan
irama kolektifitas dari bunyi kentongan. Mereka memukul sekencang-kencangnya.
Seolah ingin menjadi penguasa
suara dominan dan mengalahkan dari kelompok lain saat berpapasan. Biasa,
sebagian dari alat-alat kentongan mereka sampai pecah berantakan. Meskipun
bukan suara dominan, tetapi suara antah berantah bagaimana perbenturan antar
kelompok remaja ini menyeruah pada suara-suara kentongan di musim ronda tetek
pada bulan ramadhan.
Geliat itu sekarang telah
bergeser. Remaja-remaja yang terkadang adalah santri bayangan (kalongan), hari
ini nyaris telah hilang. Masjid dan mushola di kampung saya, nyaris tidak
dihidupi oleh kekuatan remaja pecinta masjid dan mushola.
Demikian juga dengan riwayat
ronda tetek. ronda tetek telah diperankan oleh remaja-remaja dengan latar
belakang bervariasi. Yang saya amati hari ini, ronda tetek dimainkan oleh
remaja-remaja dengan identitas sosial tidak berbasis masjid dan mushola, tetapi
berbasis pada kelompok-kelompok remaja cangkrukan atau semi gang kampung.
Bergesernya identitas pemain
ronda tetek ini membawa pergeseran instrumentalisasi dari semata tradisional
menjadi peralatan yang sudah dikolaborasikan dengan peralatan musik-musik
modern. Alunan lagunya pun telah mengambil lagu-lagu trend dalam budaya pop
masa kini. Geliat ini tentu juga menggeser otentisitas makna dan bentuk sosialisasi
remaja kampung hari ini.
Geliat di mana ketenaran, gaya
hidup dan narasi-narasi pop menjadi suara dari proses komunikasi remaja-remaja
hari ini. Saya mengamati, komunikasi mereka juga bercampur dengan remaja-remaja
yang berkumpul di pinggir jalan, pelaku bilyard dan remaja yang
dilatarbelakangi oleh perilaku-perilaku sedikit berbeda dengan etiket
masyarakat desa. Di sini saya memaknai nuansa ronda tetek berbalik menjadi aura
budaya pop, bersifat hura-hura, dan menyeruak aroma remaja yang cara
bereksistensinya juga berbeda. Tetapi, meskipun demikian dinamika modal sosial
dan proses sosialisasi ini merupakan fenomena desa dimana akar-akar seni
tradisional juga mengambil bentuk-bentuk yang lebih variatif di hari ini.
Bahkan sekarang geliat itu
menguat dalam lagu-lagu populer dengan membawa sound-system yang berkekuatan
massal. Pemutaran musik kencang yang dibawa dengan transportasi gerobak disel,
menguat di akhir ramadhan, mirip sebuah pesta jalan dengan lagu-lagu populer.
Terkadang sedikit mengganggu dan menggeser ronda tetek. Meskipun ronda tetek
juga masih bertahan dalam berbagai kombinasi instrumental musik tradisional dan
modern.
Bisa saja, kombinasi peralatan
tradisional dan modern ini merupakan matarantai menguatnya musik-musik religi
seperti kiai Kanjeng dan dentuman musik sholawat yang telah termodernisasi.
Nampaknya, ronda tetek hari ini juga bergeser mengekor pada model populer seni
religi yang menyeruak dalam budaya massa yang didoktrinkan melalui layar kaca.
(Red)
0 comments:
Post a Comment