PN Blora Lakukan Sidang Setempat Di Gudang Gula di Kecamatan Ngawen Dan Kunduran |
Blora,– Sederetan
Sidang-sidang kasus gula non-SNI semakin menyedot perhatian publik untuk mengikuti. Selain Lie
Kamadjaja meyakinkan kepada majelis hakim, kalau gula miliknya kualitas bagus
memenuhi standar kesehatan (uji Lab-UGM Yogyakarta), dan ber-Standar Nasional
Indonesia (ber-SNI).
Pada sidang lanjutan, Jumat (28/09/2018), majelis
hakim Dwi Ananda (Ketua), Morindra Kresna dan Endang Dewi (anggota) menggelar
sidang setempat di dua gudang untuk
meyakinkan keberadaan barang (alat) bukti.
Sidang perkara nomor 144/Pid.Sus/2018/PN/Bla,
dihadiri jaksa penuntut umum (JPU) dari Kejaksaan Negeri (Kejari) Blora, Hary
Riyadi, Karyono, dan staf pendukung dari Pengadilan Negeri (PN) serta Kejari.
Polisi berseragam dan bersenjata lengkap, ikut
mengamankan jalannya sidang ditempat alat bukti di dua gudang, di gudang milik
Cholil di Kelurahan Ngawen, dan gudang milik H. Slamet di Desa Muraharjo,
Kecamatan Kunduran, Blora.
Di dua gudang itu, tersimpan 1.240 ton gula kristal
putih milik Lie Kamadjaja, mantan Presiden Direktur PT Gendhis Multi Manis (PT
GMM) Pabrik Gula (PG) Blora, yang disebut Jaksa Penuntut Umum (JPU) gula
non-SNI.
“Kami sudah cek, sudah melihat alat bukti, sidang
dilanjutkan Kamis depan (04/10/2018) di PN Blora,” jelas Ketua Majelis Hakim,
Dwi Ananda.
Majelis hakim PN Blora, memeriksa dengan teliti
sampel secara acak salah satu dari 1.240 ton karung gula produksi PG Blora,
yakni alat bukti yang kini masih tersusun rapi,
tersimpan dan tersegel (police line) di dua gudang itu.
Di sidang sebelumnya, Lie Kamadjaja melalui
pensehat hukumnya Heriyanto,
mengungkapkan soal keabsahan gula di dua gudang itu sudah bersertifikat
Standar Nasional Indonesia.
Pengacara Lie Kamadjaja itu membeber, produk gula
kristal putih produksi PT GMM pada saat
itu telah lulus sertifikasi SNI, dan lulus sertifikasi sistem manajemen mutu
ISO 9000:2008.
Katanya juga dengan produk gula kristal putih PT
GMM yang dimaksud JPU dalam perkara itu, justru memenuhi syarat SNI, karena
memperoleh SPPT-SNI Nomor 414/BBIA/LSPro-BBIA.
Menurut Heryanto, Rochmi Widjajanti, ketua LSPro
Balai Besar Industri Agro tidak pernah menerbitkan surat pencabutan atas
sertifikat SNI tersebut, dan bahwa pencabutan tersebut tidak berdasarkan
prosedur dan ketentuan yang berlaku.
Di sela-sela sidang setempat, Heriyanto pengacara
Lie Kamadjaja, menyatakan sidang berjalan baik, normatif, dan majelis hakim
bertindak sebagaimana mestinya.
Hanya saja, lanjutnya, selama barang bukti berada
dalam penguasaan penyidik (di-police line) sekitar 1,5 tahun terjadi kerusakan,
karena sebagian gula meleleh.
Heriyanto mempertanyakan tanggungjawab kerusakan
barang bukti itu, termasuk jika terjadi kehilangan (berkurangnya) sebagian,
karena tempat (gudang) berada dalam penguasaan penyidik, dan sebagian
dindingnya pernah roboh/ambrol. (Sandi/Agung/Purnomo/Red)